Dinilai Bebani Petani Kecil, SPKS Minta Pemerintah Tinjau Ulang PP Nomor 45
![]() |
| Logo SPKS (foto dok) |
Akibat dari penertiban yang dilakukan tersebut, ribuan petani kelapa sawit mandiri di Indonesia merasa resah dan kwatir, jangan-jangan lahan mereka tidak kembali lagi.
Menanggapi hal itu Sabarudin Ketua Umum SPKS, mengatakan bahwa keresahan kini melanda ribuan petani sawit rakyat di berbagai daerah pasca terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 yang menjadi dasar pelaksanaan Satgas Penertiban Kawasan Hutan.
“Terus terang banyak petani kecil yang khawatir kehilangan lahan, karena dianggap berada di kawasan hutan, padahal mereka telah menggarap tanah tersebut secara turun-temurun,” ujar Sabarudin, kepada media ini melalui pesan WhatsApp,Rabu (15/10/2025) pekan lalu.
Menurut dia, petani sawit sangat mendukung langkah pemerintah untuk menjaga kelestarian hutan dan menegakkan aturan, hanya saja, harusnya kebijakan tersebut tidak mengorbankan masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit rakyat.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti terkait denda yang diterapkan bagi petani sawit dalam PP tersebut. Bahkan dalam aturan baru itu, lahan petani sawit yang masuk dalam kawasan hutan bakal diwajibkan membayar denda sebesar Rp 25 juta per hektare per tahun, denda tersebut dinilai tidak proporsional jika dibandingkan dengan hasil produktivitas dari rata-rata petani sawit rakyat selama ini.
Bayangkan lanjut dia, apabila lahan petani sawit rakyat masuk di kawasan hutan jika di denda dan dihitung selama 10 tahun maka nilai cukup fantastis. Bagi petani kecil, yakni berkisar 250 juta pertahun.
"Angka ini sangat memberatkan, bagi petani karena penghasilan petani mungkin lebih rendah dari angka denda tersebut," sebutnya.
Sedangkan kata dia, peraturan yang ada saja belum terlaksana secara efektif bahkan cenderung menimbulkan ketidakpastian hukum bagi petani. "Misalnya tumpang tindih regulasi mulai dari Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Reforma Agraria, PP No. 24 Tahun 2021 tentang Sanksi Administratif Kehutanan, hingga PP Nomor 45 Tahun 2025 menjadi penyebab utama munculnya keresahan petani," katanya.
Ia menyarankan, agar penyelesaian berbasis reforma agraria sebaiknya dijadikan landasan utama pemerintah, tujuannya petani sawit memperoleh kepastian hukum atas lahannya. Dengan perlindungan dan kebijakan yang berpihak, petani sawit dapat berkontribusi dalam pengembangan sawit berkelanjutan dan hilirisasi sawit.
"Sesuai visi Presiden Prabowo meningkatkan nilai tambah sektor perkebunan,” cetusnya.
Sebagai bentuk aspirasi resmi, SPKS telah menyampaikan surat kepada Presiden Prabowo Subianto,memohon agar petani sawit tidak dijadikan target penertiban kawasan hutan, dan berharap penyelesaian lahan dilakukan melalui kerangka reforma Agraria.
"SPKS juga berharap surat tersebut bisa diterima langsung oleh Presiden untuk menyampaikan kondisi faktual di lapangan serta memberikan masukan kebijakan dari perspektif petani rakyat," pungkasnya (tar)









