Jakarta - Berhentinya siklus menstruasi yang diawali dari setahun pertama, kemudian menetap, biasanya dialami wanita di usia 50 tahunan, lebih atau di bawah itu, karena masalah tertentu, semisal kegagalan ovarium atau kondisi khusus lainnya.
Para pakar kesehatan, mengatakan kondisi ini tak perlu ditakuti, namun perlu dihadapi secara siap.
Oleh karena itu, pengetahuan yang cukup, termasuk mengetahui kondisi kognitif, mental dan perubahan fisik terkait fase ini, perlu menjadi bekal bagi kaum hawa.
Kondisi menopause menyebabkan gejala atau sindroma metabolik yang terdiri dari obesitas perut yang ditandai lingkar perut lebih dari 80 cm, tekanan darah meningkat, dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan profil lemak abnormal dan gula darah meningkat.
Risiko masalah ini dapat dihindari dengan menerapkan gaya hidup sehat sejak sebelum usia 40 tahun. Itu adalah salah satu cara yang sangat sederhana.
Hal ini juga didukung pergaulan yang positif, menghindari stres dan upaya mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Salah satu bagian dari gaya hidup sehat ini, yakni berolahraga teratur, yang berbeda dari melakukan pekerjaan rumah tangga.
Olahraga yang disarankan jenisnya aerobik, seperti berlari, bersepeda dan dilakukan empat kali dalam sepekan, dengan durasi 30 hingga 45 menit. Jenis olahraga juga sebaiknya disesuaikan dengan usia.
Pola olahraga ini, bermanfaat untuk mencegah berat badan meningkat dan menyebabkan overweight yang nantinya berpotensi menyebabkan berbagai masalah kesehatan.
Berat badan berlebih, salah satunya memunculkan keluhan pegal dan nyeri sendi karena beban yang berlebihan pada sendi. Selain itu, metabolisme tubuh juga dapat terganggu.
Selain olahraga, para wanita juga perlu mengonsumsi asupan makanan bergizi dengan seimbang, meliputi lemak, protein, karbohidrat, lemak. Mereka sebaiknya mengontrol asupan karbohidrat agar tak berlebihan, memperbanyak minum air putih, buah-buahan dan sayuran.
Kemudian, mereka juga perlu menghindari kebiasaan buruk, seperti merokok, konsumsi minuman beralkohol dan narkoba, karena dapat merusak sel tubuh serta menjauhi sumber polutan.
Dengan memelihara semua ini, maka ketika seseorang menua dapat terhindar dari berbagai penyakit dan gangguan fungsi tubuh, termasuk komorbid, seperti diabetes.
Selain gaya hidup, pengobatan untuk gejala menopause dapat dilakukan dengan pengobatan hormon. Pengobatan hormon untuk keluhan menopause sebetulnya bukan pengobatan utama.
Terlebih, bila wanita memiliki sindroma metabolik, maka obat tersebut tidak bisa digunakan.
Perubahan hormonal saat menopause sangat berpengaruh pada struktur tubuh, seperti penumpukan lemak jadi berbeda, tekstur kulit berbeda.
Apabila wanita tidak siap menghadapi ini, ditambah adanya persepsi buruk terhadap citra tubuhnya, maka dia cenderung mengalami stres psikologis.
Belum lagi mitos yang beredar di masyarakat terkait menstruasi, salah satunya mempengaruhi kehidupan seksual, menyebabkan wanita ketakutan, sehingga menyebabkan konsekuensi psikologis padanya.
Padahal, kondisi menopause itu bukan berarti akan mengurangi keintiman. Kondisi ini bisa diatasi dengan perawatan yang baik.
Di sisi lain, perubahan hormon dapat mengganggu kemampuan kognitif dan mental perempuan di masa menopause.
Penurunan kadar estrogen mengganggu pembentukan energi otak akibat disfungsi mitokondria yang diikuti dengan penurunan metabolisme otak, deposisi beta amiloid, hilangnya sinaps neuron di otak, dan kemudian menyebabkan penurunan fungsi kognitif hingga demensia.
Perempuan menopause juga lebih rentan mengalami gangguan suasana hati, yang meliputi perasaan gelisah, sensitif, dan perubahan suasana hati yang fluktuatif (mood swing).
Ini karena penurunan hormon estrogen berperan penting dalam perubahan suasana hati, terkait dengan fungsinya dalam regulasi sintesis dan metabolisme berbagai neurotransmitter terkait mood, seperti serotonin, dopamine, dan norepinephrine.
Disregulasi dari berbagai neurotransmitter tersebut pada daerah hipothalamus, korteks prefrontal, dan sistem limbik dapat menyebabkan gangguan mood dan perasaan lelah (fatigue).
Perubahan mood tersebut nantinya dapat berkembang menjadi lebih berat dan menyebabkan gejala kecemasan dan depresi.
Gejala kecemasan ditandai dengan perasaan gelisah, panik, berkeringat, hingga sesak napas.
Sementara, depresi dapat ditandai dengan perasaan lelah, tidak berenergi, gangguan tidur, konsentrasi yang buruk, dan perubahan berat badan yang dapat memperburuk kualitas hidup.
Walau begitu tak semua orang merasakan masalah psikologis, salah satunya faktor protektif lebih banyak, sehingga gangguan tak terjadi.
Pada mereka yang rentan mengalami masalah psikologis, riwayat gangguan mental dan kepercayaan diri yang buruk, maka dapat menjadi target pendekatan terapi.
Diharapkan mereka nantinya dapat adaptif dan menguat faktor protektifnya.
Menguatkan faktor protektif juga dapat dilakukan dengan melatih menurunkan kadar stres, misalnya melalui rutin berolahraga dan melatih pola pikir.
Hubungan dalam keluarga dan pasangan yang baik juga dapat membantu meringankan stres akibat menopause dan membantu perempuan menjadi lebih resilien dalam melewati fase ini.
Peran dukungan sosial sangat penting dalam membantu perempuan menjalankan masa menopause.
Wanita dapat mencari dukungan sosialnya, misalnya dari rekan-rekan yang sudah mengalami menopause, untuk menambah pengetahuan dalam mencari pemecahan masalah.
Salah satu cara mencari dukungan sosial yang tepat adalah melihat cara dia menanggapi ketakutan yang dihadapi dan menurunkannya, misalnya melalui relaksasi atau olahraga bersama.
Mereka mendengarkan dan memahami apa yang dibutuhkan serta mencari bantuan profesional.
Bantuan profesional dibutuhkan karena mengubah pandangan negatif apalagi pada seseorang yang kaku membutuhkan keterampilan khusus.
Kemudian, bila ada masalah dengan pasangan dapat melakukan terapi pasangan atau psikoedukasi. Harapannya, agar para wanita dengan masalah seperti psikologis bisa menerima fase menopause dengan optimal dan bahagia.
Oleh : Lia Wanadriani Santosa/Antara
Editor : Yakop