Pengungsi Rohingnya saat berada di Pantai Aceh (ist). |
JAKARTA-FAKTAPAGI.COM. Koalisi masyarakat sipil di Indonesia menyesalkan penolakan lebih dari 200 pengungsi Rohingnya yang mendarat di daerah Bireun lalu Aceh Utara, Aceh, yang terindikasi secara sistematis dilakukan atas nama penolakan warga masyarakat pada 16 dan 17 November.
Kapal pengangkut para pengungsi Rohingnya yang diduga tempat pemberangkatan awal dari Bangladesh, berisi laki-laki dan perempuan dewasa serta anak-anak. Kapal yang mereka tumpangi bocor dan dalam kondisi tidak layak berlayar, serta pengungsi yang sakit tidak membuat masyarakat mengizinkan mereka mendarat di Aceh.
Pemerintah setempat tidak mengambil langkah sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri yang mana menyebutkan penemuan pengungsi dari luar negeri di daratan harus ditangani oleh kepolisian yang kemudian menyerahkan mereka kepada pihak imigrasi dan bila penemuan pengungsi dari luar negeri di lautan dalam keadaan darurat, maka akan ditangani oleh Basarnas.
Dengan demikian apa yang digaungkan Indonesia dalam berbagai forum internasional tentang negara Indonesia yang menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), pada kenyataannya hanya wacana yang implementasinya sumbang.
Selain itu mengusir pengungsi dari luar negeri, dalam hal ini pengungsi Rohingya yang memerlukan perlindungan internasional, berarti Indonesia melanggar prinsip hukum internasional _non-refoulement_ yang harus ditaati oleh setiap negara.
Pernyataan pemerintah bahwa Indonesia bukanlah negara pihak yang menandatangani Konvensi PBB tahun 1951 tentang Status Pengungsi adalah alasan usang yang terus didengungkan dan secara tidak langsung mengingkari payung hukum dalam negeri yang mengatur penangnanan pengungsi dari luar negeri, yaitu Perpres No. 125/2016.
"Argumentasi usang mengenai Indonesia yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 masih kerap didengungkan. Padahal, Indonesia memiliki beragam instrumen HAM lain, prinsip _non-refoulement_, ketentuan-ketentuan penyelamatan nyawa pada hukum laut atau UNCLOS, ketentuan-ketentuan pada Bali Process dan konvensi-konvensi HAM yang melindungi perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, dsb, demikian pernyataan sikap koalisi masyarakat sipil Indonesia.
Koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari KontraS Aceh, SUAKA, KontraS, RDI Urban Refugee Research Group (RDI-UREF), Yayasan Jesuit Refugee Service Indonesia (JRS Indonesia), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI Nasional), Dompet Dhuafa, Sahabat Insan, Human Rights Working Group (HRWG), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Sandya Institute, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, dan Asia Justice and Rights (AJAR) (tar).